Sun Yat Sen Resmikan Akademi Militer Republik China
Bapak China Modern, Sun Yat Sen. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Memori 100 tahun yang lalu, 1 Mei 1924, Bapak Negara China Modern yang juga petinggi Partai Nasionalis China (Kuomintang), Sun Yat Sen meresmikan Akademi Militer Republik China. Kehadiran akademi itu diyakini Sun sebagai ajian mempersatukan China. 

Sebelumnya, Sun dikenal sebagai pejuang yang melawan dominasi monarki Dinasti Qing. Ia tak peduli dicap pemberontak. Kondisi itu membuat Sun 'bergerilya' mencari dukungan ke luar negeri. Perjuangan itu akhirnya terbalas dengan Revolusi China.

Perjuangan memiliki kisahnya sendiri. Sun Yat Sen pun begitu. Ia mulanya dikenal sebagai dokter. Namun, belakangan ia memilih membelok ke politik. Kondisi China yang sedang tak baik-baik saja jadi muaranya.

Pemerintahan Dinasti Qing diangapnya merusak rakyat China lewat korupsi merajalela, negara terpuruk, dan rakyat tertindas. Kepeduliannya akan bangsa pun menuntun Sun untuk menulis petisi kepada Raja Muda Qing, Li Hongzhang.

Isinya ia mencoba memaparkan ide untuk mengembalikan kejayaan China dan menyejahterakan rakyat. Alih-alih mendapat dukungan, pemikiran Sun ditolak. Sun dan tokoh nasionalis lainnya kecewa. Mereka memilih bergerak mendirikan Aliansi Revolusi China dan ingin mendirikan pemerintah Republik.

Orang-orang berpose di depan Akademi Militer Whampoa. (Wikimedia Commons)

Gerilya politik pun dilakukan di luar negeri dari Jepang hingga Amerika Serikat. Sun mulai mencari dana revolusi dan dukungan negara-negara di dunia atas pendirian Republik China. Sun pun tak menyangka revolusi tak sengaja bergulir.

Semuanya bermula dari ledakan hebat di gudang mesiu milik pejuang nasionalis di Kota Wuchang. Gudang yang secara tak sengaja meledak itu menarik perhatian polisi dinasti Qing pada 10 Oktober 1911. Nyatanya, ledakan itu dianggap bak genderang perang Revolusi China dimulai.

Upaya merebut kota-kota penting terjadi dan berhasil. Gebrakan revolusi itu menghancurkan DInasti Qing. Dokter Sun pun pulang ke China. Ia lalu diangkat sebagai Presiden pertama Republik China pada 29 Desember 1911. Seisi China pun menyambut keputusan tersebut dengan gegap gempita.  

“Kembalinya Sun Yat-sen, sang tokoh revolusioner yang sebentar lagi akan dilantik sebagai presiden pertama disambut dengan sangat meriah. Wartawan lokal dan asing semuanya sangat antusias menunggu mendaratnya kapal yang membawa Sun Yat-sen dari Eropa di Pelabuhan Shanghai pada tanggal 25 Desember 1911.”

“Empat hari setelah kedatangan Sun di Shanghai, para delegasi dari berbagai provinsi berkumpul di Nanking dan mengadakan pemungutan suara untuk menentukan siapa yang akan menjadi presiden. Semua provinsi mendapatkan masing-masing satu hak suara dalam voting ini. Hasil akhirnya adalah, dari 17 provinsi yang hadir, sebanyak 16 provinsi sepakat untuk memilih Sun Yat-sen menjadi presiden sementara,” terang Michael Wicaksono dalam buku Republik Tiongkok (2015).

Bendera dari Akademi Militer Whampoa. (Wikimedia Commons)

Kepemimpinan Sun memang bersifat sementara saja. Ia memerintah hingga 10 Maret 1912. Namun, kepemimpinannya di Koumintang terus berlanjut. Ia terus menjalankan cita-citanya mempersatukan China dengan kendaraan politik partai Kuomintang.

Sun memandang upaya menyatukan China harus memiliki militer modern yang kuat. Pandangan itu membuatnya segera mendirikan akademi militer modern. Pucuk dicinta ulam tiba. Akademi Militer Modern Republik China resmi didirikan pada 1 Mei 1924.

Akademi Militer Republik China (biasa dikenal: Akademi Militer Whampoa) berada di Pulau Chengchou-Guangzhou juga didukung penuh oleh Uni Soviet. Kelas pertamanya berlangsung pada 16 Juni 1924. Pun kemudian banyak tokoh Komunis kesohor dari dari akademi militer itu.

“Kelas pertama di Whampoa memiliki 600 siswa, 100 di antaranya berasal dari Partai Komunis China, kata Zeng, Penasihat terkemuka Rusia bekerja di sekolah tersebut. Zhou Enlai adalah direktur politik, dan orang dari Partai komunis China terkenal lainnya menduduki jabatan atau dilatih di sana,” terang Edward Wong dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul With Focus on Unity, China Embraces Its Pre-Communist Past (2012).